Address
Jl.Warung Buncit Raya VIII-19,Krl.Duren Tiga Jakarta Selatan
Phone
081281133647 / 081284611443
Email
adminpusat@fgii.org

Hak Anak untuk Mengembangkan Sikap Hormat Kepada Orang Tua dan Guru Melalui Pendidikan

Diterbitkan Rabu, 29 Januari 2025

Judul ini terinspirasi obrolan pendidikan ramah anak antara Bu Elvy, Asdep PHPA Kempppa dengan Kepala Sekolah SMAN 24. Kami berdua diajak Bu Tety untuk menunggu di ruang Kepala Sekolah Pelatihan SRA bagi guru dimulai.

“Maaf ibu-ibu, saya merasa semua pihak termasuk kejaksaan terlalu mengedepankan tentang hak anak tanpa menyampaikan bahwa anak wajib menghormati orang tua dan guru, ” sergah Pak Sunaryanto, Kepala Sekolah yang baru di SMAN 24, saat kami menjawab pertanyaan beliau tentang maksud pelatihan.

Bu Elvy dengan bijak menjelaskan, “Saat audiens kita mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak-hak anak. Saat audiensnya anak, maka materinya terkait hak anak untuk mendapatkan pembelajaran  tentang belajar mengembangkan sikap hormat kepada orang tua, guru, budaya, dan lingkungan alam.”

Bu Elvy yang Baik Hati

Terus terang saya benar-benar angkat topi untuk Asdep PHPA ini sejak menggantikan bu Niken yang bergegas menerbitkan Permenegpppa No 8 Tahun 2014 tentang Kebijakan Penerapan Sekolah Ramah Anak. Ada banyak hal yang perlu disempurnakan dari dokumen tersebut setelah kami mendukung upaya Bu Ninin, Asdep PHPA sebelumnya. Kami mulai bekerja sama dengan Kempppa dengan Bu Ninin pada tahun 2010-2013 untuk menerbitkan Pedoman Pendidikan Ramah Anak.

Kebaikan hati Bu Elvy membuat kemitraan khas kami terus berlanjut dan bermuara pada perluasan Sekolah Ramah Anak sebagai wahana pemersatu praktik-praktik baik yang sudah berkembang di Indonesia.

Anak-Anak Keren

“Kami menghukum anak tersebut untuk meminta maaf kepada teman yang dibullynya setelah upacara bendera, ” ucapan yang menggelitik ini membuat saya lupa minta ijin Bu Dewi. Langsung saja mengambil mikrofon dan meminta Dita untuk menyampaikan pandangannya. “Menurut saya hukuman itu mempermalukan anak, “Dita, peserta didik SMAN 24 menjawab dengan lirih. Saya memanfaatkan momentum ini untuk meminta guru dan tenaga kependidikan yang hadir mengganti kata hukuman menjadi konsekuensi.

Menarik menyimak pendapat yang berbeda dari Pattrick, Abang None Duta Buku Jakarta yang hadir bersama ibunda tercinta. Ia menyatakan bahwa pelaku bullying sepantasnya menerima konsekuensi tersebut. Bagi Pattrick permintaan maaf sangat penting dan semua anak perlu belajar menyampaikan maaf apabila berbuat salah dan kemudian memperbaiki sikapnya. Menurut ibu Tuti Sukarni, Guru BK yang ternyata kawan seperjuangan kami mengadvokasi korban UN 2006, perkembangan kepercayaan diri Pattrick buah dari pengasuhan yang baik di rumah dan pembelajaran di sekolah. Tentu saja informasi ini perlu diperkuat dari Bunda Pingkan, ibu Patrick. Peserta pun menyimak pola asuh keren yang memberikan kesempatan anak untuk berani mencoba dan kembali memperbaiki jika melakukan kesalahan.

Sekolah Bukan Lembaga Yudikatif

Pertanyaan ibu Lucy dari SMAN 24 tentang kebiasaan guru-guru yang tidak menyukai anak nakal dijawab Bu Elvy dengan lugas.

Guru sekarang mendapat tantangan berat. Anak-anak dulu nurut banget sama ancaman dari orang dewasa. Paradigma lama ini terbawa oleh guru-guru lama juga. Anak-anak yang mendapatkan kekerasan di rumah dan di sekolah sulit untuk tumbuh kembang dengan baik.

Sekolah bukan lembaga hukum yang dapat memberikan penjeraan seperti
3 jenis hukuman badan, denda, restitusi yang memberikan efek penjeraan kepada pelaku perdagangan orang. Hukuman hanya bisa ditetapkan lembaga yudikatif melalui pengadilan yang seadil-adilnya. Sekolah adalah lembaga pembinaan wahana yang dirindukan untuk membangun kesadaran kolektif berbangsa dan bernegara sejak usia anak.

Bu Elvy mengajak guru-guru untuk mengembangkan sikap hormat anak-anak kepada orang tua, guru, budaya, dan lingkungan alam melalui SRA.